Sunday, October 07, 2012

Sebuah pelajaran tentang hidup

Prilly emang belum berumur, tapi muka udah berumur banget nih.

canda deh.

sakit hati banget nih kalo pada percaya
Ngga liat ke'unyu'an muka ini?
Atau ini?
jadi....................................*drum roll*
invisible.
gue sering merasa invisible. seakan akan dunia sibuk sama urusan mereka, dan gue hanya memperhatikan orang lalu lalang. ini udah sering kejadian, gue pikir itu normal. sampe tiba tiba gue merasa tertinggal. ketika orang yang lalu lalang itu udah dapet hasil dari lalu lalangnya mereka, gue tetep diem ditempat. apa yang salah? mereka yang terlalu expert, atau gue yang terlalu asik sama dunia sendiri?

setelah fase merasa invisible ini, perut tuh bisa mual. kaya ada bayi yang mau dimuntahin. err.....ngarang doang sih secara gue belom pernah ngerasain mau muntahin bayi. tapi ngerti kan maksudnya? ya, mual.

sesuatu yang gak bisa berubah adalah perubahan

gue sering makan es krim yang itu itu aja, di dufan main wahana yang itu itu aja, seakan semua hal normal adalah Prilly banget. tapi gue mulai mikir lagi, standard normal buat siapa? atau, emang ada standard normal?

gue belajar untuk terus berfikir positif, tapi belakangan ini semua makian keluar di pikiran gue. gue belajar buat ngga ngambekan, tapi marah saat gaada yang dengerin gue

gue rasa bukan dunia yang salah, tapi gue yang gak bisa ikut berubah bareng dunia.

jadi, gue akan terus berevolusi. sama mungkin kaya kupu kupu, yang pasti butuh proses buat sampai ke tahap 'kupu-kupu cantik' dan suatu saat nanti gue akan tiba di tahap itu, selama dari awal prosesnya benar ;;)

cerpen kebut semalam

jadi gini. ini tugas bahasa indonesia 2 sama pa udi. gue disuruh bikin cerpen dan ngirim ke pa udi sebelum jam 8 malam hari minggu. dan gue baru aja ngirim, hari minggu jam 19.58. keren abis. jadi daripada sayang nihdeh cerpennya nihdeh, tapi ini kenyataan yang 'dipermanis' ya. ada hal hal yang 'imajinasi' belaka



Cerita SMP
Gelap. Gelap. Mataku gelap. Aku tidak bisa melihat apa apa. Tunggu, apa ini? Ada pancaran sinar di ujung sana. Ia semakin menjauh. Tunggu, sinar! Aku terus mencari, ketika tiba tiba lampu menyala terang, silau. Ya, sinar itu telah hilang
************************
Pagi ini mendung. Suasana mendung pagi ini membuatku ingin tetap menggulung diri di lapisan selimut. Sinar matahari menyeruak ke kamarku. Ingin rasanya kukatupkan mata ini rapat rapat, kembali ke dalam mimpi yang belum sempat terselesaikan. Jam weker ku terus meraung raung, menjalankan tugasnya untuk membangunkan sang pemimpi, perlahan lahan mendatangkan kesadaranku, ketika mulai kusadari ada yang tidak normal. Suasana diluar agak ramai, tidak, tapi terlalu ramai. “Mereka pikir jam berapa sekarang?” gumamku setengah sadar. Kulihat jam di layar hp-ku, 06.05. TIDAK!!! Aku sudah terlambat
Kukencangkan tali sepatuku didepan pintu kelas berpapan ‘SMPN 40 SSN class IX-I’. Baru saja aku akan masuk ketika seseorang memanggilku. Kuputar tubuhku dan kulihat wakil kepala sekolah menghampiriku. “Aduh, mati aku” ucapku perlahan. Jantungku berdetak cepat, peluh sudah membasahi telapak tanganku. Bayangkan, aku baru saja tertangkap basah datang terlambat dan mencoba masuk ke kelas. Dia yang biasa kami panggil Mami, wakil kepala sekolah bernama asli Ibu Rina sampai didepanku. “Baru datang Pril?” tanyanya sarkatis. Aku hanya mengangguk pasrah. Seperti biasa, ia hanya menaikan sebelah alisnya lalu berkata “Sana pulang”. Apa? Apa? Aku disuruhnya pulang? Belum sempat merespon apa apa sudah ditariknya aku keluar gerbang, untung saja saat itu semua orang sedang berada didalam kelas sehingga mereka tidak perlu melihat kejadian tarik menarik ini. Otakku masih sibuk berfikir apa yang harus aku lakukan ketika mataku menangkap sosok yang sudah lama kukenal sedang berjalan santai ke arah kami. “Fikri!” teriakku riang. Fikri Abdul Jabbar, teman sekelasku sejak awal masuk SMP. Ternyata ada ynag lebih parah, sudah jelas jelas terlambat tapi dia masih berjalan santai dan tersenyum sambil melambaikan tangan pada kami. “ini sama aja ya pada telat, ayo sana pulang” ucap mami. Fikri malang yang tidak tahu apa apa menatapku seolah meminta penjelasan, ada-apa-ini yang kubalas dengan tatapan jangan-banyak-tanya-ikut-saja.
Kami berdua duduk didepan gerbang sekolah, lalu kuceritakan apa yang mami katakan padaku sebelum dia datang. “Bagaimana ini? Punya ide?” tanyaku mengakhiri segala penjelasan. “Tidak, punya saran?” jawabnya. Aku hanya diam menunduk sambil memuntir muntir tali tas sekolahku. Entah sudah berapa banyak pedagang asongan iseng yang lewat menyiuli kami karna dianggap sedang berpacaran. Masa bodoh lah. Aku sudah tidak peduli lagi. Aku sudah hampir menyerah dan ingin kembali pulang ketika Fikri mulai bergumam gumam tidak jelas. “Apa kau bilang?” tanyaku penasaran. “aku sedang berfikir, rasanya aku punya ide. Sangat gila” jawabnya sambil lalu. Aku bisa melihat matanya tertuju pada pagar sekolah sambil terus menerawang. Entah pikiran apa yang menghinggapinya saat ini. “Baiklah, coba saja cara ini” ucapnya mantap lalu berjalan meninggalkanku. “He? Apa? Cara paa? Hei! Kau mau kemana? Tunggu aku, Fik! Fikri!”
“kau gila” Fikri hanya diam “kau tahu aku tidak akan melakukannya” dia masih tetap diam “Aku mau pulang saja” ucapku kesal. “Tunggu Pril, cuma ini keempatan kita” ujar Fikri berusaha meyakinkanku. “Aku wanita”
“Lalu?”
“Aku memakain rok”
“Bisa diangkat”
“Aku phobia ketinggian”
“Pembohong”
“Aku tidak tahu cara memanjat!!!”
Ya, Fikri menyarankan agar kami memanjat pagar dan lari menuju kelas. Sangat gila! Kenapa dari sekian banyak pilihan dia harus memilih memanjar? Baiklah, kami memang tidak punya pilihan, tapi memanjat gerbang sekolah?! “Jangan berkhayal apa apa Pril, ini tidak akan seburuk itu” aku tetap tidak percaya. Dia bilang diriku hiperbolis. kubilang dia egois. Dia bilang dia akan meninggalkanku dan memusuhi diriku seumur hidupnya. Aku menurut dan mengikuti kemauannya. Lihat, sekarang siapa yang hiperbolis? “Fik, aku benar benar tidak tahu bagaimana cara memanjat” saat itu kami sudah berada didepan gerbang sekolah bercat keemasan. Suasana tampak sepi, namun sebentar lagi jam pelajaran pertama akan segera berakhir sehingga kami harus bergegas sebelum sekolah ramai kembali. “Ck, lihat aku” Fikri melompati pagar dengan lincah dan mendarat di seberang dengan mulus. “Mudah kan, pertama tapakkan kakimu disini, angkat tubumu keatas, berputar dan loncat”. Ia menjelaskan tahapan tahapannya untukku. Aku mencoba mengikuti petunjuknya namun sifat kekanak kanakanku muncul. Aku terus berteriak teriak “AAAAAH” atau “Aku tidak bisa” sampai dia mengingatkanku untuk tetap diam atau kami bisa ketahuan. Pelan pelan aku naik-berputar-loncat seperti yang diajarkannya dan aku berhasil masuk kedalam sekolah. “Sekarang apa?” tanyaku bersemangat. Adrenalinku memuncak karna baru pertama kali melakukan hal hal berani seperti ini. “Kita harus berlari sekencang kencangnya sampai ke kelas” ucapnya yakin. Aku hanya mengangguk. Lalu kami mulai menghitung “1.... 2.... 3.... LARI!!” aku dan Fikri berlari sekuat tenaga sampai ke kelas melewati koridor koridor sambil mengendap endap, walaupun pada akhirnya kami ketahuan “Hei! Siapa itu?!” kudengar mami meneriaki kami berdua, aku tidak menoleh dan terus berlari. Langkah langkah kaki kami menggema di sepenjuru koridor. Aku lelah. Napasku mulai tersengal. “Tunggu tunggu Fik” pintaku padanya. “Ada apa Pril?” tanyanya khawatir. “Aku lelah” jawabku polos. “Hah, wanita rapuh” ucapnya ketus namun tetap menungguiku. “Sudah sudah, ayo lari lagi” ajakku, dan kami terus berlari sampai ke pintu kelas. Kuketok pintu kelas lalu masuk dan menjelaskan segalanya kepada mam Hotnida, guru yang sedang mengajar kelasku saat itu. Beruntung sekali ia memperbolehkan kami masuk dan mengikuti pelajaran. Kufikir semua akan berjalan normal. “Hah, tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi” pikirku dalam hati dan mulai membuka buku pelajaranku
Bel berbunyi, tandanya untuk ganti jam pelajaran. Mam Hotnida keluar kelas dan kelas mulai berisik oleh teman temanku yang asik tertawa atau mengobrol. Entah kenapa perasaanku tidak enak. Seperti ada sesuatu yang mengganjal tapi entah apa. Bu Erni memasuki kelas dan suasana tenang kembali. Baru saja kami selesai memberi salam tiba tiba mami masuk ke kelasku. “Mana itu Prilly sama Fikri?”. Mati aku. Rasanya ingin menghilang saja ditelan bumi. Aku pura pura tidak mendengar sambil terus menunduk, berharap bisa menyembunyikan wajahku dari pandangannya. “Ngapain ngumpet ngumpet?” aku terkejut mendengar suaranya yang semakin tinggi saja. “Ini anak bandel banget sih, berdua manjat manjat pager. Perempuan lagi. Kalo ada orang luar yang lihat bisa jelek reputasi sekolah. Nanti ditiru maling gimana? Belum lagi..........................” aku sudah tidak bisa mencerna apa yang ia katakan berikutnya. Pelupuk mataku sudah dibasahi air mata. Aku menangis tersedu sedu. Kepalaku sampai sakit dibuatnya. “Panggil orang tua kalian besok, ibu mau bertemu dengan mereka” mami mengakhiri omelannya dan pergi meninggalkan kelas. Aku hanya tetap menangis. Teman temanku berusaha menenangkanku, bahkan Fikri meminta maaf karna telah mengajakku melakukan hal bodoh. Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi, apa yang akan kukatakan pada orang tuaku nanti?
“Ma, besok mama dipanggil ke sekolah” kuberanikan diriku untuk memberitahu orang tuaku sesampainya aku dirumah. “Ada apa Pril, ada pertemuan?” tanyanya santai.  “Bukan ma, tapi tadi pagi aku memanjat pagar sekolah” ucapku ragu “Apa?!” ibuku membalik badan dengan tatapan tidak percaya. Kujelaskan padanya apa yang telah terjadi, bahkan sampai detai terkecil pun aku ceritakan. Aku merasa amat bersalah karna sebelum ini orang tuaku tidak pernah dipanggil karna kenakalanku
Esoknya, disekolah, aku dan ibuku mendatangi ruangan wakil kepala sekolah. Mereka berdua banyak berbicara, tapi aku hanya diam saja. Pada akhirnya aku diminta menandatangani surat perjanjian yang menyatakan aku tidak akan berbuat seperti itu lagi, lalu aku meminta maaf pada wakil kepala sekolaku dan kami berdua dipersilahkan keluar. Diluar, aku meminta maaf pada ibuku karna telah menyebabkan masalah dan menjadi anak yang nakal. Aku berjanji tidak akan melakukan hal hal seperti itu lagi padanya. Ia berkata tidak apa apa, asal aku menepati janjiku untuk tidak nakal lagi. Aku sangat beruntug semua terselesaikan dengan cepat, dan aku dapat kembali menjalanjan aktifitas normalku. Walaupun sampai sekarang, pagar besi bercat keemasan itu masih sangat berarti dan memiliki banyak kenangan bagiku