jadi gini. ini tugas bahasa indonesia 2 sama pa udi. gue disuruh bikin cerpen dan ngirim ke pa udi sebelum jam 8 malam hari minggu. dan gue baru aja ngirim, hari minggu jam 19.58. keren abis. jadi daripada sayang nihdeh cerpennya nihdeh, tapi ini kenyataan yang 'dipermanis' ya. ada hal hal yang 'imajinasi' belaka
Cerita SMP
Gelap. Gelap. Mataku gelap. Aku
tidak bisa melihat apa apa. Tunggu, apa ini? Ada pancaran sinar di ujung sana.
Ia semakin menjauh. Tunggu, sinar! Aku terus mencari, ketika tiba tiba lampu
menyala terang, silau. Ya, sinar itu telah hilang
************************
Pagi ini mendung. Suasana mendung
pagi ini membuatku ingin tetap menggulung diri di lapisan selimut. Sinar
matahari menyeruak ke kamarku. Ingin rasanya kukatupkan mata ini rapat rapat,
kembali ke dalam mimpi yang belum sempat terselesaikan. Jam weker ku terus
meraung raung, menjalankan tugasnya untuk membangunkan sang pemimpi, perlahan
lahan mendatangkan kesadaranku, ketika mulai kusadari ada yang tidak normal.
Suasana diluar agak ramai, tidak, tapi terlalu ramai. “Mereka pikir jam berapa sekarang?”
gumamku setengah sadar. Kulihat jam di layar hp-ku, 06.05. TIDAK!!! Aku sudah
terlambat
Kukencangkan tali sepatuku didepan
pintu kelas berpapan ‘SMPN 40 SSN class IX-I’. Baru saja aku akan masuk ketika
seseorang memanggilku. Kuputar tubuhku dan kulihat wakil kepala sekolah
menghampiriku. “Aduh, mati aku” ucapku perlahan. Jantungku berdetak cepat,
peluh sudah membasahi telapak tanganku. Bayangkan, aku baru saja tertangkap
basah datang terlambat dan mencoba masuk ke kelas. Dia yang biasa kami panggil
Mami, wakil kepala sekolah bernama asli Ibu Rina sampai didepanku. “Baru datang
Pril?” tanyanya sarkatis. Aku hanya mengangguk pasrah. Seperti biasa, ia hanya
menaikan sebelah alisnya lalu berkata “Sana pulang”. Apa? Apa? Aku disuruhnya
pulang? Belum sempat merespon apa apa sudah ditariknya aku keluar gerbang,
untung saja saat itu semua orang sedang berada didalam kelas sehingga mereka
tidak perlu melihat kejadian tarik menarik ini. Otakku masih sibuk berfikir apa
yang harus aku lakukan ketika mataku menangkap sosok yang sudah lama kukenal
sedang berjalan santai ke arah kami. “Fikri!” teriakku riang. Fikri Abdul
Jabbar, teman sekelasku sejak awal masuk SMP. Ternyata ada ynag lebih parah,
sudah jelas jelas terlambat tapi dia masih berjalan santai dan tersenyum sambil
melambaikan tangan pada kami. “ini sama aja ya pada telat, ayo sana pulang”
ucap mami. Fikri malang yang tidak tahu apa apa menatapku seolah meminta
penjelasan, ada-apa-ini yang kubalas dengan tatapan
jangan-banyak-tanya-ikut-saja.
Kami berdua duduk didepan gerbang
sekolah, lalu kuceritakan apa yang mami katakan padaku sebelum dia datang.
“Bagaimana ini? Punya ide?” tanyaku mengakhiri segala penjelasan. “Tidak, punya
saran?” jawabnya. Aku hanya diam menunduk sambil memuntir muntir tali tas sekolahku.
Entah sudah berapa banyak pedagang asongan iseng yang lewat menyiuli kami karna
dianggap sedang berpacaran. Masa bodoh lah. Aku sudah tidak peduli lagi. Aku
sudah hampir menyerah dan ingin kembali pulang ketika Fikri mulai bergumam
gumam tidak jelas. “Apa kau bilang?” tanyaku penasaran. “aku sedang berfikir,
rasanya aku punya ide. Sangat gila” jawabnya sambil lalu. Aku bisa melihat
matanya tertuju pada pagar sekolah sambil terus menerawang. Entah pikiran apa
yang menghinggapinya saat ini. “Baiklah, coba saja cara ini” ucapnya mantap
lalu berjalan meninggalkanku. “He? Apa? Cara paa? Hei! Kau mau kemana? Tunggu
aku, Fik! Fikri!”
“kau gila” Fikri hanya diam “kau
tahu aku tidak akan melakukannya” dia masih tetap diam “Aku mau pulang saja”
ucapku kesal. “Tunggu Pril, cuma ini keempatan kita” ujar Fikri berusaha
meyakinkanku. “Aku wanita”
“Lalu?”
“Aku memakain rok”
“Bisa diangkat”
“Aku phobia ketinggian”
“Pembohong”
“Aku tidak tahu cara memanjat!!!”
Ya, Fikri menyarankan agar kami
memanjat pagar dan lari menuju kelas. Sangat gila! Kenapa dari sekian banyak
pilihan dia harus memilih memanjar? Baiklah, kami memang tidak punya pilihan,
tapi memanjat gerbang sekolah?! “Jangan berkhayal apa apa Pril, ini tidak akan
seburuk itu” aku tetap tidak percaya. Dia bilang diriku hiperbolis. kubilang
dia egois. Dia bilang dia akan meninggalkanku dan memusuhi diriku seumur
hidupnya. Aku menurut dan mengikuti kemauannya. Lihat, sekarang siapa yang
hiperbolis? “Fik, aku benar benar tidak tahu bagaimana cara memanjat” saat itu kami
sudah berada didepan gerbang sekolah bercat keemasan. Suasana tampak sepi,
namun sebentar lagi jam pelajaran pertama akan segera berakhir sehingga kami
harus bergegas sebelum sekolah ramai kembali. “Ck, lihat aku” Fikri melompati
pagar dengan lincah dan mendarat di seberang dengan mulus. “Mudah kan, pertama
tapakkan kakimu disini, angkat tubumu keatas, berputar dan loncat”. Ia
menjelaskan tahapan tahapannya untukku. Aku mencoba mengikuti petunjuknya namun
sifat kekanak kanakanku muncul. Aku terus berteriak teriak “AAAAAH” atau “Aku
tidak bisa” sampai dia mengingatkanku untuk tetap diam atau kami bisa ketahuan.
Pelan pelan aku naik-berputar-loncat seperti yang diajarkannya dan aku berhasil
masuk kedalam sekolah. “Sekarang apa?” tanyaku bersemangat. Adrenalinku
memuncak karna baru pertama kali melakukan hal hal berani seperti ini. “Kita
harus berlari sekencang kencangnya sampai ke kelas” ucapnya yakin. Aku hanya
mengangguk. Lalu kami mulai menghitung “1.... 2.... 3.... LARI!!” aku dan Fikri
berlari sekuat tenaga sampai ke kelas melewati koridor koridor sambil mengendap
endap, walaupun pada akhirnya kami ketahuan “Hei! Siapa itu?!” kudengar mami
meneriaki kami berdua, aku tidak menoleh dan terus berlari. Langkah langkah
kaki kami menggema di sepenjuru koridor. Aku lelah. Napasku mulai tersengal.
“Tunggu tunggu Fik” pintaku padanya. “Ada apa Pril?” tanyanya khawatir. “Aku
lelah” jawabku polos. “Hah, wanita rapuh” ucapnya ketus namun tetap
menungguiku. “Sudah sudah, ayo lari lagi” ajakku, dan kami terus berlari sampai
ke pintu kelas. Kuketok pintu kelas lalu masuk dan menjelaskan segalanya kepada
mam Hotnida, guru yang sedang mengajar kelasku saat itu. Beruntung sekali ia
memperbolehkan kami masuk dan mengikuti pelajaran. Kufikir semua akan berjalan
normal. “Hah, tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi” pikirku dalam hati dan
mulai membuka buku pelajaranku
Bel berbunyi, tandanya untuk ganti
jam pelajaran. Mam Hotnida keluar kelas dan kelas mulai berisik oleh teman
temanku yang asik tertawa atau mengobrol. Entah kenapa perasaanku tidak enak.
Seperti ada sesuatu yang mengganjal tapi entah apa. Bu Erni memasuki kelas dan
suasana tenang kembali. Baru saja kami selesai memberi salam tiba tiba mami
masuk ke kelasku. “Mana itu Prilly sama Fikri?”. Mati aku. Rasanya ingin menghilang
saja ditelan bumi. Aku pura pura tidak mendengar sambil terus menunduk,
berharap bisa menyembunyikan wajahku dari pandangannya. “Ngapain ngumpet
ngumpet?” aku terkejut mendengar suaranya yang semakin tinggi saja. “Ini anak
bandel banget sih, berdua manjat manjat pager. Perempuan lagi. Kalo ada orang
luar yang lihat bisa jelek reputasi sekolah. Nanti ditiru maling gimana? Belum
lagi..........................” aku sudah tidak bisa mencerna apa yang ia
katakan berikutnya. Pelupuk mataku sudah dibasahi air mata. Aku menangis
tersedu sedu. Kepalaku sampai sakit dibuatnya. “Panggil orang tua kalian besok,
ibu mau bertemu dengan mereka” mami mengakhiri omelannya dan pergi meninggalkan
kelas. Aku hanya tetap menangis. Teman temanku berusaha menenangkanku, bahkan
Fikri meminta maaf karna telah mengajakku melakukan hal bodoh. Aku tidak tahu
harus berbuat apa lagi, apa yang akan kukatakan pada orang tuaku nanti?
“Ma, besok mama dipanggil ke
sekolah” kuberanikan diriku untuk memberitahu orang tuaku sesampainya aku
dirumah. “Ada apa Pril, ada pertemuan?” tanyanya santai. “Bukan ma, tapi tadi pagi aku memanjat pagar
sekolah” ucapku ragu “Apa?!” ibuku membalik badan dengan tatapan tidak percaya.
Kujelaskan padanya apa yang telah terjadi, bahkan sampai detai terkecil pun aku
ceritakan. Aku merasa amat bersalah karna sebelum ini orang tuaku tidak pernah
dipanggil karna kenakalanku
Esoknya, disekolah, aku dan ibuku
mendatangi ruangan wakil kepala sekolah. Mereka berdua banyak berbicara, tapi
aku hanya diam saja. Pada akhirnya aku diminta menandatangani surat perjanjian
yang menyatakan aku tidak akan berbuat seperti itu lagi, lalu aku meminta maaf
pada wakil kepala sekolaku dan kami berdua dipersilahkan keluar. Diluar, aku
meminta maaf pada ibuku karna telah menyebabkan masalah dan menjadi anak yang
nakal. Aku berjanji tidak akan melakukan hal hal seperti itu lagi padanya. Ia
berkata tidak apa apa, asal aku menepati janjiku untuk tidak nakal lagi. Aku
sangat beruntug semua terselesaikan dengan cepat, dan aku dapat kembali
menjalanjan aktifitas normalku. Walaupun sampai sekarang, pagar besi bercat
keemasan itu masih sangat berarti dan memiliki banyak kenangan bagiku